Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengikuti ajaran Kitabullah adalah jalan untuk meraih rahmat Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan inilah kitab yang Kami turunkan penuh dengan keberkahan, maka ikutilah ia dan bertakwalah kalian, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (al-An’am : 155)
Dengan mengikuti petunjuk al-Qur’an akan menjaga manusia dari terjerumus dalam kesesatan dan kesengsaraan. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Allah menyebut al-Qur’an sebagai ruh; karena ia menjadi sebab hidupnya hati manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan demikianlah Kami telah wahyukan kepadamu ruh dari perintah Kami…” (asy-Syura : 52). Dengan demikian kualitas kehidupan hati seorang insan tergantung pada sejauh mana dia mengikuti al-Qur’an dalam hati dan amalannya.
Karena itulah, meninggalkan al-Qur’an dan menjauhinya perkara yang sangat tercela. Sehingga diadukan oleh Rasul kepada Allah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Rasul itu berkata : Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini ditinggalkan.” (al-Furqan : 30). Termasuk meninggalkan al-Qur’an adalah lalai dari merenungkan kandungan ayat-ayat-Nya. Allah menegur kita semua dalam firman-Nya (yang artinya), “Apaka mereka itu tidak merenungkan al-Qur’an? Ataukah di dalam hati mereka itu ada penutupnya?” (Muhammad : 24) (lihat tulisan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berjudul Fushul fi at-Tarbiyah, hlm. 11)
Allah berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ hati mereka karena peringatan dari Allah dan kebenaran yang turun, dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang yang telah diberi al-Kitab sebelumnya, maka berlalu waktu yang panjang lantas menjadi keras hati mereka, dan banyak diantara mereka itu adalah fasik. Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya…” (al-Hadid : 16-17)
Oleh sebab itu al-Qur’an akan menjadi petunjuk dan sebab hidupnya hati ketika manusia mau merenungkan kandungan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka renungkan kandungan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran mengambil pelajaran.” (Shad : 29)
Membaca al-Qur’an adalah ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, dan tegakkanlah sholat…” (al-’Ankabut : 45). Dengan mendengarkan bacaan ayat-ayatnya akan bisa menambah keimanan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya bertambahlah iman mereka…” (al-Anfal : 2)
Meskipun demikian, membaca saja tidak cukup, harus disertai dengan usaha untuk memahami maknanya. Dan untuk bisa memahami maknanya kita harus merenungkan isinya dan membaca kitab-kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama salaf. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam sebuah bait syairnya, “Renungkanlah al-Qur’an jika anda ingin meraih hidayah, sesungguhnya ilmu ada di balik perenungan al-Qur’an.” (lihat transkrip ceramah Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah yang berjudul an-Nashihah wa Atsaruha ‘ala Wahdatil Kalimah, hlm. 16)
Untuk bisa memahami al-Qur’an maka kita juga perlu mempelajari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hadits menjadi penjelas baginya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka itu.” (an-Nahl : 44). Ketaatan kepada Rasul dalam apa-apa yang beliau perintah dan larang adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati Rasul itu sungguh dia telah menaati Allah.” (an-Nisaa’ : 80)
Mengikuti ajaran dan nasihat beliau adalah sebab hidayah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ikutilah ia (rasul) mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (al-A’raf : 158). Dan menaati rasul juga menjadi sebab datangnya rahmat Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan taatilah Rasul itu, mudah-mudahan kalian mendapatkan rahmat.” (an-Nur : 56)
Hadits atau Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kaitan yang sangat erat dengan al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an ada hal-hal yang bersifat global kemudian diperinci di dalam hadits. Di dalam al-Qur’an ada hal-hal yang tidak diberi batasan lalu diberi batasan di dalam hadits. Ada ayat-ayat al-Qur’an yang dihapus pemberlakuan hukumnya di dalam hadits dst. Hal ini menunjukkan bahwa hadits memiliki peranan yang sangat penting guna memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an (lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 59)
Telah menjadi kewajiban bagi para ulama untuk menerangkan kandungan ayat-ayat Allah kepada manusia. Hal itu sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberikan al-Kitab; benar-benar kalian harus jelaskan ia kepada manusia dan jangan kalian sembunyikan…” (Ali ‘Imran : 187)
Diantara para ulama terdahulu yang pakar dalam ilmu al-Qur’an adalah :
– Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu (wafat 32 H)
– Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu (wafat 30 H)
– Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (wafat 68 H)
(lihat al-Wajiz fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 15 karya Prof. Dr. Ali bin Sulaiman al-’Ubaid)
Diantara ulama sesudahnya yang menulis dalam ilmu tafsir al-Qur’an adalah :
– Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat 104 H)
– Ikrimah maula Ibnu Abbas rahimahullah (wafat 107 H)
– Hasan al-Bashri rahimahullah (wafat 110 H)
– Qatadah bin Du’amah as-Sadusi rahimahullah (wafat 117 H)
– Muqatil bin Sulaiman rahimahullah (wafat 150 H)
– Sufyan ats-Tsauri rahimahullah (wafat 161 H)
– Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah (wafat 197 H)
– Sufyan bin Uyainah rahimahullah (wafat 198 H)
(lihat al-Wajiz fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 17-18)
Diantara sarana untuk bisa memahami al-Qur’an adalah dengan mempelajari bahasanya yaitu ilmu bahasa arab. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan ia/al-Qur’an berupa bacaan yang berbahasa arab, mudah-mudahan kalian memikirkan.” (Yusuf : 2)
Diantara contoh manfaat bahasa arab dalam menafsirkan adalah ketika kita harus memahami makna kalimat laa ilaha illallah. Banyak orang salah paham. Mereka mengira laa ilaha illallah artinya ‘tidak ada pencipta selain Allah’. Padahal ‘ilah’ dalam bahasa arab maknanya adalah ma’bud/sesembahan, bukan pencipta. Dengan kaidah bahasa arab, kita bisa memahami bahwa makna kalimat tauhid ini adalah ‘tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’ (lihat Kaifa Nafhamul Qur’an, hlm. 13 karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah)
Begitu pula dalam memahami makna dari kalimat ‘iyyaka na’budu’. Dengan kadiah bahasa arab kita bisa mengetahui bahwa di dalam susunan kalimat ini objeknya diletakkan di awal kalimat -yaitu iyyaka-, dan menurut kaidah bahasa arab ‘mendahulukan sesuatu yang seharusnya berada di belakang itu memberikan faidah makna pembatasan’. Sehingga arti dari kalimat itu adalah ‘kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu’ (lihat Kaifa Nafhamul Qur’an, hlm. 14)
Oleh sebab itu sangat aneh apabila ada orang yang setiap hari membaca laa ilaha illallah dan membaca al-Fatihah yang di dalamnya terdapat kalimat iyyaka na’budu ini tetapi ternyata dia masih mempersembahkan ibadahnya untuk selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, beristighotsah kepada selain-Nya, bertawakal kepada selain-Nya, atau mencari pujian manusia atas amal dan ibadahnya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak konsisten dengan kalimat yang selalu diucapkannya. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat.